BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Dalam sejarah islam, jatuhnya Daulah Abbasiyah pada tahun
1258 M dianggap berakhirnya zaman keemasan Islam. Serangan militer Hulagu Khan,
penguasa kerajaan Mongol dan Asia Tengah, menjadi peristiwa sejarah yang
dianggap sebagai berakhirnya masa kejayaan kaum muslim. Pada fase kehancuran
Daulah Abbasiyah tidaklah semata-mata disebabkan oleh serangan Mongol saja,
akan tetapi terdapat beberapa factor yang menjadi akar kemunduran dinasti ini
yakni factor internal dan faktor eksternal.
1.
Faktor Internal
Faktor internal kemunduran dinasti Abbasiyah adalah
factor yang berasal dari dalam pemerintahan Islam itu sendiri. Adanya
pergeseran orientasi watak peradaban yang bekembang di dunia Islam pada masa
itu, kecenderungan militerisme dan ekspansi wilayah kekuasaan muncul sebagai
ciri utama peradaban Islam menyusul tampilnya supremasi politik bangsa Mongol.
Factor internal itu antara lain :
a.
Konflik Internal Keluarga Islam
Perebutan kekuasaan di kalangan anak-anak khalifah
sering membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka sendiri, bahkan
menjurus kepada persaingan antarbangsa. Ketika Harun al rasyid wafat,
sebetulnya sudah pernah ada konflik antara anaknya yaitu Al Amin yang didukung
oleh orang Arab dan Al Makmun yang didukung oleh orang Parsi, yang menjurus
pada perang saudara, akan tetapi konflik itu bisa diatasi dan Al Makmun mampu
membawa kemajuan bagi Islam, akan tetapi konflik keluarga yang terjadi antar
anak khalifah pada masa bani Buwaih membawa kehancuran dan kemunduran mereka.[1]
b. Tampilnya
Dominasi Militer
Pada masa
khalifah al-Mu’tasim banyak direkrut jajaran militer dari budak-budak Turki.
Dan terkadang golongan elit dari mereka diangkat menjadi gubernur di beberapa
wilayah dinasti Abbasiyah. Hal ini menjadikan dominasi militer semakin kuat
sehingga khalifah Al Mu’tasam memindahkan pusat pemerintahan dari Baghdad ke
Sammara 80 mil sebelah utara kota Baghdad.
Dalam
perkembangannya kemudian, militer ini secara perlahan membangun kekuatan dalam
daulah. Mereka secara perlahan mengendalikan jalannya administrasi pemerintahan
Daulah Abbasiyah. Hal ini memang didukung dengan tampilnya khalifah-khalifah
Abbasiyah yang lemah sehingga tidak mampu mengimbangi kekuatan militer yang
semakin berkuasa.
Lemahnya
khalifah memberi peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula
diangkat oleh Al Mu’tashim untuk mengambil alih pemerintahan. Usaha mereka
berhasil sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara
kekuasaan bani Abbasiyah mulai pudar dan menyebabkan kemunduran.
Di samping itu
juga, terdapat peningkatan ketergantungan khalifah pada tentara bayaran, dan
ini pada gilirannya mungkin berhubungan dengan perkembangan-perkembangan
teknologi militer. Para khalifah mengetahui msalah ini, tetapi mereka
menganggap tidak mungkin ke tentara milisi yang terdiri dari warga kota. Maka,
menjadi penting bagi khalifah atau gubernur untuk memiliki tentara yang setia
pada dirinya dan membayar mereka secara tetap. Hal ini tentu akan mengakibatkan
khalifah memiliki ketergantungan kepada tentara bayaran dalam mempertahankan
kekuasaannya. Sekitar tahun 935 khalifah Abbasiyah kehilangan kekuasaannya atas
seluruh wilayah provinsi, kecuali nbeberapa daerah di sekitar Baghdad.
c. Permasalahan
Keuangan
Dalam bidang
keuangan dinasti Abbasiyah juga mengalami kemunduran yang bersamaan dengan
bidang politik. Pada periode pertama pemerintah dinasti Abbasiyah merupakan
dinasti yang kaya. Sehingga dana yang masuk lebih banyak dari dana keluar
sehingga baitulmal penuh dengan harta. Dana yang besar diperoleh dari al
kharaj (pajak hasil bumi).[2]
Perkembangan
peradaban dan kebudayaan yang besar dari periode pertama yang mendorong
penguasa untuk bermewah-mewah. Setiap kholifah cenderung ingin lebih mewah
daripada pendahulunya., kehidupan kholifah ditiru oleh hartawan dan anak-anak
pejabat, kecenderungan itu ditambah dengan kelemahan khalifah dan factor lain
yang menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
Sampai pada
tahun 919 uang dalam jumlah yang besar masih di kirim ke pemerintahan pusat di
Baghdad. Namun, menjadi kebiasaan untuk mengumpulkan uang ini melalui system
pemborongan pajak. Juga kadang-kadang hak untuk mengumpulkan pajak sudah
diserahkan kepada tentara bayaran karena dianggap lebih efisien. Ketika militer
tidak lagi mau membantu khalifah dalam pemungutan pajak, maka akan menyebabkan
pajak yang masuk ke pemerintah akan berkurang dan menyebabkan kesulitan ekonomi
bagi khalifah.
Pemasukan Negara
menjadi semakin kecil. Hal ini dikarenakan banyaknya pajak yang macet, makin
menyempitnya wilayah kekuasaan dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang
sangat mengganggu perekonomian. Sedangkan pembengkakan dana keluar juga terjadi
akibat kehidupan khalifah dan para pejabat yang semakin bermewah-mewah dalam
memerintah dan banyaknya korupsi dalam bentuk pemerintahan. Semua hal itu
memperburuk keuangan masyarakat dan Daulah Abbasiyah.
d.
Berdirinya dinasti-dinasti kecil
Berbagai hal yang terjadi di pusat pemerintahan bani
Abbasiyah memberikan pengaruh yang besar terhadap daerah-daerah kekuasaan
daulah ini. Karena pemerintahan khalifah yang lemah banyak muncul pemberontakan-pemberontakan
di berbagai daerah yang ingin membentuk dinasti-dinasti kecil yang melepaskan
diri dari bani Abbasiyah.
Ketika munculnya dinasti Tahiriyah di Khurasam yang
didirikan oleh Tahir bin Husain yang dahulunya merupakan gubernur yang ditunjuk
Al Makmun yang ingin memerdekakan diri, kemudian sesudah itu muncul dinasti
safariyah di wilayah Persia dengan pusat ekuasaan di Sijistan, dan muncul
dinasti Idrisiyah di Afrika Utara, sampai kepada dinasti Tulun, Ikhsid, dan
hamdaniyah yang semuanya ingin memerdekakan diri dari daulah Abbasiyah.[3]
e.
Luasnya wilayah
Luasnya wilayah yang harus dikendalikan, merupakan
suatu penyebab lambatnya penyampaian informasi dan komunikasi. Ini semua bukan
tidak dapat diatasi, tetapi suatu syarat untuk menyatukan suatu wilayah sangat
luas, ialah harus ada tingkat saling percaya yang tinggi di kalangan
penguasa-penguasa utama dan para pelaksana pemerintahan. Di dunia islam abad
ke-10 kepercayaan seperti ini sudah berkurang,dan syariat tidak pernah diterpakan dalam hubungan antara para
menteri dan pejabat tinggi satu sama lain dan kepada khalifah. Imbalan-imbalan
jabatan sangat besar sekali pengaruhnya, tetapi kesempatan untuk mendapatkan
imbalan tersebut sangat kecil untuk hari tua. Penghukuman mati, sering setelah
disiksa, adalah perlakuan biasa terhadap wazir yang telah diberhentikan,
pemenjaraan, dan penyitaan adalah praktik normal. Dalam keadaan-keadaan seperti
itu hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang akan mencari keuntungan bagi
dirinya dengan merugikan orang lain dan akibatnyaadalah makin sulitbagi
khalifah untuk memperoleh orang-orang yang akan ditunjuk sebagai
gubernur-gubernur provinsi yang dipercaya untuk mengirim surplus yang diperoleh
dari pajak.
Kekuasaan dinasti Abbasiyah tidak pernah diakui di
Spanyol dan seluruh Afrika utara kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar
dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan pada kenyataannya banyak daerah-daerah
yang tidak dikuasai khalifah. Secara rill daerah-daerah itu berada dalam
ekuasaan gubernur-gubernur profinsi yang bersangkutan, hubungannya dengan
khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.
f.
Fanatisme keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan persoalan kebangsaan.
Karena tidak semua cita-cita orang Persia tidak tercapai, maka kekecewaan mendorong orang-orang Persia mempropagandakan
Zoroasterisne dan Mazdakisme dengan munculnya gerakan Zindik. Ini menggoda rasa
keimanan para khalifah. Pada saaat gerakan ini mu;ai tersudut pendukungnya yang
belidung dalam ajaran syi’ah, sehingga alasan syi’ah yang dianggap ekstrem yang
duanggap menyimpang dalam syi’ah kita sendiri, kedua aliran itu sering terjadi
konflik yang nmelibatkan penguasa.
Konflik yang dilataratarbelakangi agama tidak terbatas
antar muslim dan Zindig atau Ahlusunnah dengan syi’ah tetapi juga aliran-aliran
dalam islam, sehingga mu’tazilah yang ceb nderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh
golongan salaf. Perselisihan ini dipertajam oleh Al Makmun khalifah yang
ketujuh dari dinasti Abbasiyah.
Hal tersebut tampak pada pertentangan antara kalangan
Mu’tazilah dan salaf. Mu’tazilah didukung oleh khalifah Al Makmun dan
menjadikan mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara. Dan juga mnerapkan Al
Mihnah. Dan akhirnya mu’tazilah dibatalkan oleh khalifah yang terakhir.[4]
2.
Faktor Eksternal
Selain ancaman dari dalam juga terdapat ancaman dari
luar atau factor eksternal yang menyebabkan dinasti Abbasiyah hancur. Di antara
factor itu adalah :
a.
Perang Salib
Terjadinya perang salib yang berlangsung berapa
gelombang atau periode yang menelan banyak korban. Perang salib merupakan symbol
perang agama yang timbul atas ketidaksenangan komunitas Kristen terhadap
perkembangan Islam di eropa, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk
berperang stelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Sehingga
membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada dalam wilayah
kekuasaan Islam.
b.
Serangan tentara Mongol
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam
adalah peristiwa yang banyak menelan waktudan oengirbanan. Setelah perang
salib, tentara Mongol juga melakukan penyerangan ke wilayah kekuasaan Islam,
gereja gereja Kristen berasosiasi dengan orang Mongol yang sangat anti pada
Islam sehingga Mongol memporak-porandakan kota-kota yang menjai pusat
pendidikan islam.
Dalam serangan Mongol yang terjadi selama 40 hari
dimulai dari bulan Muharram sampai pertengahan safar telah memakan korban
sebanyak 2 juta jiwa. Khalifah Al Mu’tashim Billah bersama putra-putranya
dibunuh tentara mongol. Dan turut terbunuhpula guru istana khalifah Syekh
Mukhyidin yusuf bin syaikh Abi Fraj Ibnul Jauzi. Serta dibunuh juga oleh tentara
Mongol Syaikhusy-syuyukh guru dari khalifah yang bernama Shadrudin sadjar.
Segala kitab-kitab, imam-imam dan pembaca-pembaca (Qari’ul Qur’an) semuanya
disapu habis, sehingga berbulan-bulan lamanya masjid-masjid kosong. Lepas dari 40 hari itu didapatilah Baghdad menjadi
daerah yang kosong. Al Mu’tashim (640-666 H)
adalah khalifah Abbasiyah
yang terakhir dan telah dibunuh oleh kaum Mongol yang menyerang dunia Islam
serta menamatkan pemerintahan Abbasiyah.[5]
Serangan inilah yang
mengakhiri zaman keemasan Islam.[6]
Dari berbagai pemasalahan internal yang dihadapi
Daulah Abbasiyah yang diiringi dengan serangan dari lusr, mengakibatkan
kehancuran-kehancuran yang berdampak pada terhentinya kegiatan pengembangan
ilmu pengetahuan dunia islam. Smentara karya-karya pemikir islam berpindah
tangan ke kaum Masehi, mereka ini telah mengikuti jejak kaum
muslimin mnggunakan hasil
buah pikiran yang cenderung mareka capai dari pikiran islam.
B. Pengaruh Kehancuran Dinasti Abbassiyah Terhadap Pendidikan
Islam
Pada
masa kemunduran ini banyak sekali yang pengaruh-pengaruh dari luar maupun dari
dalam yang dapat menjadikan masa ini benar lemah, diantaranya sebagai berikut :
1 . Telah
berkelebihan filsafat Islam (yang bercorak sifistis) yang dimasukkan oleh
Al-Ghazali dalam alam islami di Timur, dan berkelebihan pula Ibnu Rusyd dalam
memasukkan Filsafat Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia islam
barat. Al-ghazali dengan filsafat islamnya menuju ke jurang materialisme.
Al-Ghazali
mendapat sukses di timur, hingga pendapat-pendapatnya marupakan satu aliran
yang terpenting ibnu Rusy mendapat sukses di Barat hingga pikiran-pikirannya
menjadi pimpinan yang penting bagi alam pikiran Barat.
2 .
Umat Islam,
Terutama para pemerintahnya (khalifah,sultan,amir-amir) malalaikan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang.
Kalau pada mulanya para pejbat pemerintah sangat memperhatikan perkembangan
ilmu pengetahuan, dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli
Ilmu pengetahuan umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan,sehingga
melupakan pengembangan Ilmu pengetahuan.
3 .
Terjadinya
pemberontakan-pemberontakan yang di barengi dengan serangan dari luar, sehingga
menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan
pengembangan Ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia islam.
Dengan
semakin di tinggalkanya pendidikan intelektual, maka semakin statis
perkembangan kebudayaan islam, karena daya intelektual generasi penerus tidak
mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan telah menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan baru yang dihadapi sebagai
akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidakmampuan intelektual
tersebut,merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Terjadilah kebekuan intelektual secara total.
Kehancuran
total yang dialami menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan
islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu
pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di bagian Timur dan Barat dunia Islam
tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia islam,
terutama bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya dalam
bidang kehidupan batin dan spiritual.
C.
Pola
Pendidikan Pada Masa Kehancuran Dinasti Abbassiyah
Kemunduran dan kemerosotan mutu
pendidikan dan pengajaran nampak jelas sangat sedikitnya materi kurikulum dan
mata pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah yang ada. Dengan demikian telah
menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum, dengan tiadanya perhatian
kepada ilmu-ilmu kealaman, maka kurikulum pada madrasah terbatas pada ilmu-ilmu
keagamaan, ditambah dengan sedikit gramatika dan bahasa sebagi alat yang
diperlukan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri dari : Tafsir
Al-Qur’an, Hadist, Fiqh(termasuk Ushul Figh dan prinsip-prinsip Hukum) dan ilmu
Kalam atau Teologi Islam.
Materi pelajaran yang sangat sederhana, yang
ternyata dari jumlah total buku yang harus dipelajari pada suatu dipelajari
pada suatu tingkatan (bahkan tingkat tertinggipun sekalian) sangat sedikit.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan studipun relatif sedikit. Akibatnya
kurang mendalamnya materi pelajaran yang mereka terima. sehingga kemerosotan
dan kemunduran ilmu pengetahuan pada pelajarannyapun dapat dibayangkan. Hal
tersebut disebabkan karena sistem pelajaran pada masa itu sangat berorientasi
pada buku pelajaran dan bukan pada pelajaran itu sendiri. Oleh karena itu yang
sering terjadi pelajaran hanya memberikan komentara-komentar atau saran-saran
terhadap buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan oleh guru.
Oleh karena
itu perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini bisa dikatakan macet total.
Tidak ada buku-buku baru yang dihasilkan, hanya komentar dari buku-buku yang
telah ada. Kebekuan inelektual dalam kehidupan umat muslim yang diwarnai
berkembangnya berbagai aliran sufi yang terlalu toleran terhadap ajaran mistik
yang berasal dari agama lain (Hindu, Budha, maupun Neo Platonisme), telah
memunculkan berbagai tarikat yang menyimpang jauh dari ajaran islam.
Keadaan yang demikian, sebagaimana yang dilukiskan oleh
Fazlur Rahman yang dikutip oleh Syamsul Nizar : ” Di madrasah-madrasah yang
bergabung dalam halaqah-halaqah dan zawiat-zawiat sufi,
karya-karya sufi dimasukkan kedalam kurikulum formal, kurikulum akademis yang
terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang sufi.
Seseorang yang frustasi tidak lagi percaya kepada kemampuannya untuk maju
atau mengatasi problem kagamaan dan kemasyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkna diri kepada Tuhan. Untuk
itu mereka masuk ke tarekat-tarekat sehingga tarekat sangat berpengaruh dalam
hidup umat Islam.
Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Kurangnya perhatian penguasa
terhadap kehidupan intelektualisme, menambah umat Islam semakin tidak bergairah
untuk melahirkan karya-karya intelektual sehingga ilmu pengetahuan Islam
mengalami stagnasi. Keadaan yang demikian berlangsung selama masa kemunduran
kebudayaan dan pendidikan islam, sampai abad ke 12 H/18 M.[7].[8]
[1]
Samsul nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 185
[2]
Samsul nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 186
[3]
Samsul nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 187
[4]Samsul nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 188
[6]
Samsul nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 189
0 komentar:
Posting Komentar