Translate

Senin, 22 April 2013

MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM


BAB II

PEMBAHASAN

A.      Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Dalam sejarah islam, jatuhnya Daulah Abbasiyah pada tahun 1258 M dianggap berakhirnya zaman keemasan Islam. Serangan militer Hulagu Khan, penguasa kerajaan Mongol dan Asia Tengah, menjadi peristiwa sejarah yang dianggap sebagai berakhirnya masa kejayaan kaum muslim. Pada fase kehancuran Daulah Abbasiyah tidaklah semata-mata disebabkan oleh serangan Mongol saja, akan tetapi terdapat beberapa factor yang menjadi akar kemunduran dinasti ini yakni factor internal dan faktor eksternal.

1.    Faktor Internal
Faktor internal kemunduran dinasti Abbasiyah adalah factor yang berasal dari dalam pemerintahan Islam itu sendiri. Adanya pergeseran orientasi watak peradaban yang bekembang di dunia Islam pada masa itu, kecenderungan militerisme dan ekspansi wilayah kekuasaan muncul sebagai ciri utama peradaban Islam menyusul tampilnya supremasi politik bangsa Mongol. Factor internal itu antara lain :
a.    Konflik Internal Keluarga Islam
Perebutan kekuasaan di kalangan anak-anak khalifah sering membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka sendiri, bahkan menjurus kepada persaingan antarbangsa. Ketika Harun al rasyid wafat, sebetulnya sudah pernah ada konflik antara anaknya yaitu Al Amin yang didukung oleh orang Arab dan Al Makmun yang didukung oleh orang Parsi, yang menjurus pada perang saudara, akan tetapi konflik itu bisa diatasi dan Al Makmun mampu membawa kemajuan bagi Islam, akan tetapi konflik keluarga yang terjadi antar anak khalifah pada masa bani Buwaih membawa kehancuran dan kemunduran mereka.[1]
b.   Tampilnya Dominasi Militer
Pada masa khalifah al-Mu’tasim banyak direkrut jajaran militer dari budak-budak Turki. Dan terkadang golongan elit dari mereka diangkat menjadi gubernur di beberapa wilayah dinasti Abbasiyah. Hal ini menjadikan dominasi militer semakin kuat sehingga khalifah Al Mu’tasam memindahkan pusat pemerintahan dari Baghdad ke Sammara 80 mil sebelah utara kota Baghdad.
Dalam perkembangannya kemudian, militer ini secara perlahan membangun kekuatan dalam daulah. Mereka secara perlahan mengendalikan jalannya administrasi pemerintahan Daulah Abbasiyah. Hal ini memang didukung dengan tampilnya khalifah-khalifah Abbasiyah yang lemah sehingga tidak mampu mengimbangi kekuatan militer yang semakin berkuasa.
Lemahnya khalifah memberi peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula diangkat oleh Al Mu’tashim untuk mengambil alih pemerintahan. Usaha mereka berhasil sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan bani Abbasiyah mulai pudar dan menyebabkan kemunduran.
Di samping itu juga, terdapat peningkatan ketergantungan khalifah pada tentara bayaran, dan ini pada gilirannya mungkin berhubungan dengan perkembangan-perkembangan teknologi militer. Para khalifah mengetahui msalah ini, tetapi mereka menganggap tidak mungkin ke tentara milisi yang terdiri dari warga kota. Maka, menjadi penting bagi khalifah atau gubernur untuk memiliki tentara yang setia pada dirinya dan membayar mereka secara tetap. Hal ini tentu akan mengakibatkan khalifah memiliki ketergantungan kepada tentara bayaran dalam mempertahankan kekuasaannya. Sekitar tahun 935 khalifah Abbasiyah kehilangan kekuasaannya atas seluruh wilayah provinsi, kecuali nbeberapa daerah di sekitar Baghdad.
c.    Permasalahan Keuangan
Dalam bidang keuangan dinasti Abbasiyah juga mengalami kemunduran yang bersamaan dengan bidang politik. Pada periode pertama pemerintah dinasti Abbasiyah merupakan dinasti yang kaya. Sehingga dana yang masuk lebih banyak dari dana keluar sehingga baitulmal penuh dengan harta. Dana yang besar diperoleh dari al kharaj (pajak hasil bumi).[2]
Perkembangan peradaban dan kebudayaan yang besar dari periode pertama yang mendorong penguasa untuk bermewah-mewah. Setiap kholifah cenderung ingin lebih mewah daripada pendahulunya., kehidupan kholifah ditiru oleh hartawan dan anak-anak pejabat, kecenderungan itu ditambah dengan kelemahan khalifah dan factor lain yang menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
Sampai pada tahun 919 uang dalam jumlah yang besar masih di kirim ke pemerintahan pusat di Baghdad. Namun, menjadi kebiasaan untuk mengumpulkan uang ini melalui system pemborongan pajak. Juga kadang-kadang hak untuk mengumpulkan pajak sudah diserahkan kepada tentara bayaran karena dianggap lebih efisien. Ketika militer tidak lagi mau membantu khalifah dalam pemungutan pajak, maka akan menyebabkan pajak yang masuk ke pemerintah akan berkurang dan menyebabkan kesulitan ekonomi bagi khalifah.
Pemasukan Negara menjadi semakin kecil. Hal ini dikarenakan banyaknya pajak yang macet, makin menyempitnya wilayah kekuasaan dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang sangat mengganggu perekonomian. Sedangkan pembengkakan dana keluar juga terjadi akibat kehidupan khalifah dan para pejabat yang semakin bermewah-mewah dalam memerintah dan banyaknya korupsi dalam bentuk pemerintahan. Semua hal itu memperburuk keuangan masyarakat dan Daulah Abbasiyah.
d.        Berdirinya dinasti-dinasti kecil
Berbagai hal yang terjadi di pusat pemerintahan bani Abbasiyah memberikan pengaruh yang besar terhadap daerah-daerah kekuasaan daulah ini. Karena pemerintahan khalifah yang lemah banyak muncul pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah yang ingin membentuk dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari bani Abbasiyah.
Ketika munculnya dinasti Tahiriyah di Khurasam yang didirikan oleh Tahir bin Husain yang dahulunya merupakan gubernur yang ditunjuk Al Makmun yang ingin memerdekakan diri, kemudian sesudah itu muncul dinasti safariyah di wilayah Persia dengan pusat ekuasaan di Sijistan, dan muncul dinasti Idrisiyah di Afrika Utara, sampai kepada dinasti Tulun, Ikhsid, dan hamdaniyah yang semuanya ingin memerdekakan diri dari daulah Abbasiyah.[3]
e.         Luasnya wilayah
Luasnya wilayah yang harus dikendalikan, merupakan suatu penyebab lambatnya penyampaian informasi dan komunikasi. Ini semua bukan tidak dapat diatasi, tetapi suatu syarat untuk menyatukan suatu wilayah sangat luas, ialah harus ada tingkat saling percaya yang tinggi di kalangan penguasa-penguasa utama dan para pelaksana pemerintahan. Di dunia islam abad ke-10 kepercayaan seperti ini sudah berkurang,dan syariat tidak  pernah diterpakan dalam hubungan antara para menteri dan pejabat tinggi satu sama lain dan kepada khalifah. Imbalan-imbalan jabatan sangat besar sekali pengaruhnya, tetapi kesempatan untuk mendapatkan imbalan tersebut sangat kecil untuk hari tua. Penghukuman mati, sering setelah disiksa, adalah perlakuan biasa terhadap wazir yang telah diberhentikan, pemenjaraan, dan penyitaan adalah praktik normal. Dalam keadaan-keadaan seperti itu hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang akan mencari keuntungan bagi dirinya dengan merugikan orang lain dan akibatnyaadalah makin sulitbagi khalifah untuk memperoleh orang-orang yang akan ditunjuk sebagai gubernur-gubernur provinsi yang dipercaya untuk mengirim surplus yang diperoleh dari pajak.
Kekuasaan dinasti Abbasiyah tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika utara kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan pada kenyataannya banyak daerah-daerah yang tidak dikuasai khalifah. Secara rill daerah-daerah itu berada dalam ekuasaan gubernur-gubernur profinsi yang bersangkutan, hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.
f.         Fanatisme keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan persoalan kebangsaan. Karena tidak semua cita-cita orang Persia tidak tercapai, maka kekecewaan mendorong orang-orang Persia mempropagandakan Zoroasterisne dan Mazdakisme dengan munculnya gerakan Zindik. Ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Pada saaat gerakan ini mu;ai tersudut pendukungnya yang belidung dalam ajaran syi’ah, sehingga alasan syi’ah yang dianggap ekstrem yang duanggap menyimpang dalam syi’ah kita sendiri, kedua aliran itu sering terjadi konflik yang nmelibatkan penguasa.
Konflik yang dilataratarbelakangi agama tidak terbatas antar muslim dan Zindig atau Ahlusunnah dengan syi’ah tetapi juga aliran-aliran dalam islam, sehingga mu’tazilah yang ceb nderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Perselisihan ini dipertajam oleh Al Makmun khalifah yang ketujuh dari dinasti Abbasiyah.
Hal tersebut tampak pada pertentangan antara kalangan Mu’tazilah dan salaf. Mu’tazilah didukung oleh khalifah Al Makmun dan menjadikan mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara. Dan juga mnerapkan Al Mihnah. Dan akhirnya mu’tazilah dibatalkan oleh khalifah yang terakhir.[4]
2.    Faktor Eksternal
Selain ancaman dari dalam juga terdapat ancaman dari luar atau factor eksternal yang menyebabkan dinasti Abbasiyah hancur. Di antara factor itu adalah :
a.         Perang Salib
Terjadinya perang salib yang berlangsung berapa gelombang atau periode yang menelan banyak korban. Perang salib merupakan symbol perang agama yang timbul atas ketidaksenangan komunitas Kristen terhadap perkembangan Islam di eropa, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk berperang stelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Sehingga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada dalam wilayah kekuasaan Islam.
b.        Serangan tentara Mongol
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam adalah peristiwa yang banyak menelan waktudan oengirbanan. Setelah perang salib, tentara Mongol juga melakukan penyerangan ke wilayah kekuasaan Islam, gereja gereja Kristen berasosiasi dengan orang Mongol yang sangat anti pada Islam sehingga Mongol memporak-porandakan kota-kota yang menjai pusat pendidikan islam.
Dalam serangan Mongol yang terjadi selama 40 hari dimulai dari bulan Muharram sampai pertengahan safar telah memakan korban sebanyak 2 juta jiwa. Khalifah Al Mu’tashim Billah bersama putra-putranya dibunuh tentara mongol. Dan turut terbunuhpula guru istana khalifah Syekh Mukhyidin yusuf bin syaikh Abi Fraj Ibnul Jauzi. Serta dibunuh juga oleh tentara Mongol Syaikhusy-syuyukh guru dari khalifah yang bernama Shadrudin sadjar. Segala kitab-kitab, imam-imam dan pembaca-pembaca (Qari’ul Qur’an) semuanya disapu habis, sehingga berbulan-bulan lamanya masjid-masjid kosong. Lepas dari 40 hari itu didapatilah Baghdad menjadi daerah yang kosong. Al Mu’tashim (640-666 H) adalah khalifah Abbasiyah yang terakhir dan telah dibunuh oleh kaum Mongol yang menyerang dunia Islam serta menamatkan pemerintahan Abbasiyah.[5] Serangan inilah yang mengakhiri zaman keemasan Islam.[6]
Dari berbagai pemasalahan internal yang dihadapi Daulah Abbasiyah yang diiringi dengan serangan dari lusr, mengakibatkan kehancuran-kehancuran yang berdampak pada terhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dunia islam. Smentara karya-karya pemikir islam berpindah tangan ke kaum Masehi, mereka ini telah mengikuti jejak kaum muslimin mnggunakan hasil buah pikiran yang cenderung mareka capai dari pikiran islam.

B.  Pengaruh Kehancuran Dinasti Abbassiyah Terhadap Pendidikan Islam
          Pada masa kemunduran ini banyak sekali yang pengaruh-pengaruh dari luar maupun dari dalam yang dapat menjadikan masa ini benar lemah, diantaranya sebagai berikut :
1      .    Telah berkelebihan filsafat Islam (yang bercorak sifistis) yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam alam islami di Timur, dan berkelebihan pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan Filsafat Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia islam barat. Al-ghazali dengan filsafat islamnya menuju ke jurang materialisme.
Al-Ghazali mendapat sukses di timur, hingga pendapat-pendapatnya marupakan satu aliran yang terpenting ibnu Rusy mendapat sukses di Barat hingga pikiran-pikirannya menjadi pimpinan yang penting bagi alam pikiran Barat.
2      .      Umat Islam, Terutama para pemerintahnya (khalifah,sultan,amir-amir) malalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Kalau pada mulanya para pejbat pemerintah sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli Ilmu pengetahuan umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan,sehingga melupakan pengembangan Ilmu pengetahuan.
3   .      Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang di barengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan Ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia islam.
Dengan semakin di tinggalkanya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan islam, karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan telah menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan baru yang dihadapi sebagai akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidakmampuan intelektual tersebut,merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Terjadilah kebekuan intelektual secara total.
Kehancuran total yang dialami menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di bagian Timur dan Barat dunia Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia islam, terutama bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya dalam bidang kehidupan batin dan spiritual.

C.    Pola Pendidikan Pada Masa Kehancuran Dinasti Abbassiyah
Kemunduran dan kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran nampak jelas sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah yang ada. Dengan demikian telah menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum, dengan tiadanya perhatian kepada ilmu-ilmu kealaman, maka kurikulum pada madrasah terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, ditambah dengan sedikit gramatika dan bahasa sebagi alat yang diperlukan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri dari : Tafsir Al-Qur’an, Hadist, Fiqh(termasuk Ushul Figh dan prinsip-prinsip Hukum) dan ilmu Kalam atau Teologi Islam.
Materi  pelajaran yang sangat sederhana, yang ternyata dari jumlah total buku yang harus dipelajari pada suatu dipelajari pada suatu tingkatan (bahkan tingkat tertinggipun sekalian) sangat sedikit. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan studipun relatif sedikit. Akibatnya kurang mendalamnya materi pelajaran yang mereka terima. sehingga kemerosotan dan kemunduran ilmu pengetahuan pada pelajarannyapun dapat dibayangkan. Hal tersebut disebabkan karena sistem pelajaran pada masa itu sangat berorientasi pada buku pelajaran dan bukan pada pelajaran itu sendiri. Oleh karena itu yang sering terjadi pelajaran hanya memberikan komentara-komentar atau saran-saran terhadap buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan oleh guru.
Oleh karena itu perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini bisa dikatakan macet total. Tidak ada buku-buku baru yang dihasilkan, hanya komentar dari buku-buku yang telah ada. Kebekuan inelektual dalam kehidupan umat muslim yang diwarnai berkembangnya berbagai aliran sufi yang terlalu toleran terhadap ajaran mistik yang berasal dari agama lain (Hindu, Budha, maupun Neo Platonisme), telah memunculkan berbagai tarikat yang menyimpang jauh dari ajaran islam.
Keadaan yang demikian, sebagaimana yang dilukiskan oleh Fazlur Rahman yang dikutip oleh Syamsul Nizar : ” Di madrasah-madrasah yang bergabung dalam halaqah-halaqah dan zawiat-zawiat sufi, karya-karya sufi dimasukkan kedalam kurikulum formal, kurikulum akademis yang terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang sufi.
Seseorang yang frustasi tidak lagi percaya kepada kemampuannya untuk maju atau mengatasi problem kagamaan dan kemasyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkna diri kepada Tuhan. Untuk itu mereka masuk ke tarekat-tarekat sehingga tarekat sangat berpengaruh dalam hidup umat Islam.
Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Kurangnya perhatian penguasa terhadap kehidupan intelektualisme, menambah umat Islam semakin tidak bergairah untuk melahirkan karya-karya intelektual sehingga ilmu pengetahuan Islam mengalami stagnasi. Keadaan yang demikian berlangsung selama masa kemunduran kebudayaan dan pendidikan islam, sampai abad ke 12 H/18 M.[7].[8]


[1] Samsul nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 185
[2] Samsul nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 186
[3] Samsul nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 187
[4]Samsul nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 188

[6] Samsul nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (jakarta : Kencana Prenata Media Grup, 2011), 189

8. Zuhairini,Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta : Bumi Aksara,1992),113
 

0 komentar:

Posting Komentar